Selama ini publik menilai bahwa persoalan korupsi yang semakin
merajalela hanya terjadi di lingkungan pemerintah. Padahal, korupsi di
sektor swasta atau bisnis jauh lebih dahsyat dan mengkhawatirkan.
Hal itu setidaknya bisa dilihat dari laporan hasil survei Global
Corruption Report (GCR) yang dirilis Transparency International (TI)
Rabu (7/10). Lembaga yang berpusat di Berlin itu menyebutkan, banyak
kondisi yang memungkinkan terjadinya krisis terkait risiko korupsi di
dunia bisnis. Kerugian akibat praktik korupsi di sektor swasta secara
global, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ditengarai mencapai nilai
tak kurang dari 300 miliar US dolar.Berdasar hasil temuan TI, terungkap sumber utama terjadinya praktik
korupsi di sektor swasta adalah suap. Praktik tersebut terjadi ketika
dunia bisnis bersinggungan dengan pejabat pemerintah, pegawai negeri,
ataupun anggota partai politik.
Di negara-negara berkembang, politisi dan pejabat pemerintah menerima
suap dari kelompok swasta sebanyak 20 sampai 40 miliar US dolar atau
setara dengan Rp 200 triliun sampai Rp 400 triliun setiap tahun. Suap
itu dilakukan dengan cara terorganisasi dan nyaris tidak tersentuh
hukum. Laporan GCR menunjukkan, dari 2.700 lebih eksekutif bisnis yang
disurvei di 26 negara, ditemukan 2 di antara 5 pejabat eksekutif bisnis
mengakui pernah diminta menyuap ketika berhubungan dengan lembaga
pemerintah. Sebanyak 50 persen manajer bisnis memperkirakan, korupsi
menambah biaya proyek sedikitnya 10 persen dan dalam beberapa kasus
lebih dari 25 persen. Sementara itu, 1 di antara 5 pelaku bisnis
mengakui dikalahkan pesaing mereka yang melakukan suap.
Akibat korupsi oleh kelompok bisnis ke pejabat publik, harga yang
dibayar tidak sekadar uang. Praktik itu secara langsung telah merusak
kinerja perusahaan. Imbasnya, terjadi korupsi pasar yang melemahkan
persaingan sehat, harga yang adil, dan efisiensi. Dampak terburuk lain
adalah mempertahankan birokrasi, partai politik, dan pemerintahan yang
korup. Lobi-lobi bisnis yang kotor telah melemahkan legitimasi pemerintah.
Pelaku bisnis kuat bisa mengendalikan kebijakan dan pemerintahan.
Akibatnya, mustahil terciptanya keputusan demokratis. Keputusan atau
kebijakan sudah diarahkan kepada kelompok swasta bermodal kuat dan
pemberi suap paling banyak.
***
Fenomena korupsi di negara-negara berkembang juga menimbulkan masalah
baru. Yaitu, ekspor korupsi dari negara maju ke negara berkembang.
Pengusaha di negara maju, seperti Singapura dan Amerika Serikat, bisa
saja bersih di negara asalnya. Tapi, saat berbisnis di negara
berkembang, mereka justru lebih kotor daripada pengusaha lokal.
Pemberian sejumah uang suap kepada pejabat di tingkat lokal dianggap
sebagai sesuatu yang wajar dan menjadi biaya yang wajib dibayarkan untuk
memenangi suatu kontrak atau tender.
Penerapan transparansi dan akuntabilitas di dalam sektor swasta
merupakan salah satu kunci untuk mencapai masyarakat yang terbebas dari
korupsi. Hal tersebut juga diamanatkan dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Pemberantasan Korupsi-United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC) yang di dalam pasal 12 mengatur tentang
kewajiban setiap negara untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor
swasta.
Krisis ekonomi global telah membuka mata semua orang tentang
pentingnya penerapan transparansi dan akuntabilitas di sektor swasta.
Praktik bisnis yang kotor dalam sektor swasta ternyata memberi efek
domino yang merugikan kepentingan publik secara langsung. Praktik
spekulan bursa saham, penghindaran pajak, dan disinformasi oleh pebisnis
swasta mengakibatkan kerugian besar yang dalam krisis ini dirasakan
langsung masyarakat luas. Skandal di perusahaan Enron, Global Crossing, dan WorldCom yang
terjadi di Amerika Serikat beberapa tahun lalu merupakan contoh penipuan
(fraud) yang dilakukan perusahaan swasta. Skandal tersebut memberikan
efek bola salju ke seluruh dunia dan korporasi global serta merusak
kepercayaan publik tentang integritas bisnis.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Selama ini banyak pihak yang
lebih berfokus pada persoalan korupsi di sektor publik. Secara faktual
sektor publik di Indonesia memang masih marak dengan korupsi, namun
tidak berarti sektor swasta bersih. Pada kenyataannya, praktik penjualan
ke dalam dan kolusi yang terjadi dalam sektor perbankan di Indonesia
pada 1998 dianggap sebagai salah satu penyebab terjatuhnya Indonesia
dalam krisis ekonomi. Skandal Bank Century merupakan contoh terbaru yang
sangat relevan tentang kasus penipuan (fraud) oleh sektor swasta di
Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi UNCAC pada 2006.
Karena itu, selayaknya di Indonesia perhatian terhadap korupsi dalam
sektor swasta mulai ditingkatkan. Contoh-contoh kasus di atas
menunjukkan secara jelas urgensi perhatian masyarakat dalam konteks
pemberantasan korupsi di sektor swasta.
Sektor swasta sesungguhnya bisa memainkan peran dalam pemberantasan
korupsi dengan mengupayakan agar sektor swasta tidak ikut-ikutan korupsi
dengan melakukan kongkalikong dengan aparat atau pejabat publik. Namun,
untuk mencapai itu, terlebih dahulu penegakan hukum harus berjalan.
Lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan
kejaksaan, harus mulai memprioritaskan kasus korupsi di sektor swasta.
Selain itu, sektor swasta bisa berperan dalam mendukung upaya pencegahan
korupsi dengan proaktif melaporkan tindakan-tindakan korupsi atau suap
kepada aparat penegak hukum. (*)
Sumber :
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-di-sektor-swasta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar